Posted by fathoni

KEGAIBAN ATAWA PENOLAKAN

KEGAIBAN ATAWA PENOLAKAN

Membaca 5 Puisi Agus Manaji

Ada 5 puisi yang disuguhkan kali ini: Diwan Nafas (2011), Diwan Batu-batu (2010), September di Rahimmu yang Rekah (2009), Kasidah Akar (2004), dan Improvisasi untuk Sisa Hujan (2003). Dari judul puisi-puisi tersebut 2 puisi menyebut kata “diwan” dan 1 puisi menyebut “kasidah”. Continue reading

KESAKSIAN DAN PERNYATAAN DALAM PERISTIWA

KESAKSIAN DAN PERNYATAAN DALAM PERISTIWA

Membaca Puisi-puisi Ragil Supriyanto Samid

Dari beberapa puisi dalam kumpulan ini, saya tahu ia menulis puisi sejak tahun 1999, meski belum tentu demikian. Sejak itu tentu banyak puisi yang telah ditulisnya, seperti lazimnya kehidupan sastra kini bahwa puisi sangat mudah ditulis. Barangkali ini membuktikan kemajuan dunia sastra kita, sebab tidak diragukan lagi produktifitas para penyair kita. Pun barangkali dengan begitu kita tidak mudah menghitung dan membaca seluruh puisi; bisa jadi jumlah puisi telah melebihi angka kelahiran bayi manusia. Continue reading

PANTAI, RUANG RESISTENSI, DAN NARASI POSTKOLONIAL

PANTAI, RUANG RESISTENSI, DAN NARASI POSTKOLONIAL

Membaca Cerpen “Lelaki Penjaga Laut” Karya Badrul Munir Chair

Tulisan ini merupakan interpretasi dan analisa karya dan kaitannya dengan wacana postkolonial. Saya berangkat dari konsep ruang yang ditransformasi ke dalam suatu cerita. Pandangan mengenai ruang ini berdasarkan Luxemburg dkk. (1984: 142-148) bahwa suatu karya sastra merupakan ruang penyajian, dunia yang menampung para tokoh, peran, dan perilakunya pada deretan peristiwa. Continue reading

Yang Seolah-olah Lain: Oposisi dalam Sajak “Surat Laut 4” Karya Ahmad Kekal Hamdani

Yang Seolah-olah Lain: Oposisi dalam Sajak “Surat Laut 4” Karya Ahmad Kekal Hamdani

Perbedaan adalah keniscayaan; menjadi beda bukan berarti diferensiasi yang diciptakan untuk menyatakan diri. Sebagaimana identitas diyakini sebagai jatidiri, identifikasi terhadap kehakikian atau hakekat diri yang esensial sifatnya. Oleh sebab wacana bahwa diri merupakan konstruksi atau reaksi atas keberadaan yang lain, maka diri dinilai sebagai subjek yang tak otentik dan tak mungkin menemukan kemurniannya. Continue reading

MENERIMA TAKDIR, MENCARI LAYAR

MENERIMA TAKDIR, MENCARI LAYAR

Apabila membaca ulang polemik kebudayaan tahun 1935, antara STA dengan Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya, saya teringat Kongres Kebudayaan IV tahun 1991. Dalam kongres itu ia menjadi salah satu pembicara utama. Dari pernyataan-pernyataannya, tampak pandangannya yang masih tetap seperti dulu. Sebenarnya apa yang dipertahankan STA selama puluhan tahun itu? Apa konsistensi lelakunya justru menjadi bukti dari kegamangan atas kedirian kita? Continue reading

Memeras Air Mata dalam Lima Sajak Viddy AD Daery

Memeras Air Mata dalam Lima Sajak Viddy AD Daery

Membaca 5 Sajak Air Mata Viddy AD Daery

Membaca sajak-sajak Viddy seperti mengingatkan luka yang nganga. Perih teramat nyata. Sehingga tak ada alasan lagi untuk berdusta, menyembunyi air mata yang api. Seolah Viddy tak lagi gelisah tetapi gemuruh yang cadas. Wajah yang terjal di pelupuk mimpi buruknya.

Ada semacam tuntutan yang berisi dua hal: ancaman kepada ‘kalian’ dan keluhan yang samar-samar kepada tuhan, agar dengan airmata tuhan berlaku adil. “Kau acungkan sajak-sajak ke langit-langit. Continue reading

Melempar Koin, Bermain Liontin

Melempar Koin, Bermain Liontin

Upaya Membaca Cerpen ‘Koin’ Karya Danik Susiyati

Dari dimensi pembaca—berpijak dari konsepsi estetika resepsi, karya sastra barangkali satu dari jibunan bentuk komunikasi. Secara relasional dapat berupa garis-garis liner, saling berhadapan arah, dalam satu ruang dan waktu, atau di dalam jamaknya sehingga cenderung berelasi imajiner. Mungkin itu tak sepenuhnya betul, bahwa karya tak hidup bila tak dibaca dan dimakna oleh diri pembaca. Bukankah tetap ada lampu dan cahaya ketika mata dipejam?
Continue reading