TINDAK KEKERASAN DALAM MASYARAKAT KONSUMSI

Dewasa ini konflik dan kekerasan cenderung sangat rentan sekali terjadi. Terbukanya ruang publik, kebebasan, dan terbentuknya organisasi masyarakat sipil tidak selalu berkorelasi dengan tiadanya kekerasan. Sedangkan kampanye nirkekerasan di Indonesia tampaknya belum berhasil. Di pihak lain, kekerasan yang terorganisir menunjukkan kematangan dalam logikanya sendiri. Tulisan ini akan membahas persoalan tindak kekerasan dari cara pandang aktor kekerasan dalam rangka untuk memahami persoalan toleransi dan kekerasan, dengan asumsi 1) bahwa tindak kekerasan yang mereka lakukan rasional, 2) rasionalitas mereka sejajar dengan logika konsumen dalam perspektif masyarakat konsumsi, dan 3) kedua hal tersebut mengandaikan adanya kondisi dimana toleransi sulit diwujudkan jika mengabaikan kondisi masyarakat konsumsi.

KEKERASAN TERORGANISIR

Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) melaporkan jumlah korban akibat kekerasan selama 2014 di 34 provinsi yakni sekurang-kurangnya 2.943 korban tewas dan 22.118 cedera dari 27.775 insiden dan 26 persen adalah konflik.[1] Jumlah ini sangat memprihatinkan. Sebelumnya, pada 2012 Center for Strategic and International Studies (CSIS) melakukan survei yang menunjukkan bahwa pemeluk agama tertentu tidak nyaman hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain.[2] Belakangan di beberapa daerah terjadi intimidasi dan intoleransi terhadap minoritas atau pihak yang berbeda agama, kepentingan, dan beragam perbedaan lainnya.

Dalam melakukan aksinya, aktor kekerasan tersebut berorganisasi dan berafiliasi dengan kelompok tertentu serta mengatasnamakan aksinya. Diantaranya, Aktor tersebut seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Gerakan Reformis Islam (GARIS), Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (GAPAS), Forum Anti-Komunis Indonesia (FAKI) dan lainnya. Motif atau pesan yang diangkat oleh aktor kekerasan tersebut adalah persoalan agama dan paham komunisme. Persoalan tersebut tampak pada pernyataan, tanda dan identitas yang sengaja dimunculkan, seperti muslim sejati, Islam kaffah, anti-maksiat dan pemurtadan/sesat, atau yang terkini, misalnya masyarakat madani. Hal ini menandakan bahwa terdapat pergeseran isu dan pesan yang digunakan sesuai dengan kondisi tertentu.

Dalam aksinya organisasi-organisasi tersebut juga secara progresif menyebarkan pesan intoleransi dan kebencian yang berujung pada kekerasan terhadap pihak yang tidak hanya minoritas, tapi juga pihak yang sudah mereka tandai. Organisasi juga memiliki logika dan moralitas sendiri sehingga tindakan yang dilakukan bukan berarti irrasional dan tidak beralasan. Bahkan organisasi tersebut juga memiliki akses, mendapat sponsor, dan berpartner dengan pihak keamanan, FPI misalnya.[3] Ketika anggota organisasi ini ditangkap polisi karena bertindak kekerasan, mereka hanya dituntut dan dihukum ringan.[4]

Dengan demikian, insiden-insiden kekerasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan logika dan cara pandang, sensitivitas dan mentalitas, dan moralitas sekelompok orang ‘menyerang’ orang atau pihak lain yang tidak hanya dianggapnya berbeda, tapi juga yang sudah mereka jadikan sasaran atau target tertentu sehingga aksinya berhasil dan pesan yang mereka usung sampai pada publik.

Organisasi yang mengatasnamakan “masyarakat madani” dapat dikatakan mengusung pesan bahwa “masyarakat madani” itu anti-demokrasi, atau “agama” menolak demokrasi. Apa yang dilakukan organisasi tersebut telah membentuk penafsiran “masyarakat madani” dan “demokrasi”, sesuai dengan perspektif mereka. Maka, secara tidak langsung mereka berhasil mengacaukan dan memberi makna baru terhadap “masyarakat madani” dan “demokrasi”, termasuk “agama Islam” dan “pancasila”.

Yang menarik lagi, bahwa aksi anti-Komunisme, anti-Ahmadiyah dan anti-Syiah dipandang sebagai sebuah pesan, sebuah tanda bahwa terdapat masyarakat yang menentang paham komunisme dan aliran Islam tersebut sehingga regulasi-regulasi yang legal dan fatwa atau opini yang sejalan dengan penentangan tetap memiliki relevansi dengan pekerjaan mereka.[5]

TINDAK KEKERASAN SEBAGAI PEKERJAAN

Keberhasilan dan relevansi tersebut bukan terjadi kebetulan. Di atas disebutkan bahwa organisasi ini memiliki relasi dengan pihak tertentu, termasuk otoritas dan keamanan misalnya.[6] Maka diasumsikan bahwa mereka menjadi “pekerja” untuk mengerjakan suatu “tugas” tertentu, atau yang jelas bahwa mereka memiliki visi dan misi sendiri yang sejalan dengan kepentingan tertentu. Mereka juga memiliki moralitas atau etika baru sehingga yang dilakukan merupakan “sebagian dari perjuangan”.[7]

Dalam perkembangannya, organisasi ini menggunakan isu dan pesan yang menjadi trend kekinian. Pada 2005, setahun setelah bangkit yang sebelumnya sempat beku (2002-2004), seorang anggota FPI mengatakan bahwa nasionalisme dan kebangsaan sudah ketinggalan zaman, kini anti-kemaksiatan atas nama Islam jauh lebih seksi.[8] Maka, dapat dikatakan bahwa organisasi ini mengalami pergeseran visi: dari bela bangsa ke persoalan simbolik, tetapi cara bertindak mereka tetap konsisten, kecuali mereka tetap melakukan tindakan intimidasi, ancaman, perusakan, pembakaran, atau kekerasan lainnya yang mengatasnamakan bangsa (dulu) atau agama (kini).

Sebagaimana logika dan moralitas mereka, tindak kekerasan yang mereka lakukan tersebut adalah benar. Benar dalam artian sesuai dengan acuan moril organisasi. Benar dalam pengertian bahwa tindakan mereka dipandang sebagai “perjuangan” (dulu) atau “jihad”, “saleh”, “muslim sejati” (kini). Apabila mereka melakukan tindak kekerasan mereka seperti orang yang dianggap semacam “pahlawan”.

Pahlawan adalah sebuah tanda yang dilekatkan secara sosial sesuai dengan moral yang menjadi acuan mereka. Maka, jika mendapatkan identitas tersebut mereka akan bangga, dihargai dan dihormati diantara sesama mereka. Hal ini semacam pencapaian prestisius, seperti pemenang dari sebuah persaingan. Sayangnya, persaingan tersebut hanya sebatas di antara kelompok mereka sendiri—artinya di luar mereka tindakan tersebut belum tentu disebut prestisius dan belum tentu mendapat pengharagaan sebagaimana di dalam logika mereka. Sebab, mereka termasuk kelompok yang menganut logika tertutup; toleransi dan keberagaman yang dikampayekan oleh beberapa pihak di bawah payung demokrasi pun dianggap menjadi tantangan kerja. Mereka tampak seperti tenaga kerja yang terlatih (skilled labor).

Selain itu, dalam logika produksi masyarakat konsumsi, produk juga dapat digunakan sebagai komoditas yang bernilai komersial dan menghasilkan keuntungan—keuntungan dipahami tidak hanya berupa materiil atau finansial, tapi juga keuntungan sosial, politik, dan kultural, yang akhirnya adalah upaya pencapaian nilai tukar. Maka, masyarakat konsumsi juga bersifat proaktif dalam memproduksi tanda dan makna. Tidak benar jika disebut konsumen itu pasif. Logika produksi suatu barang bagi konsumen sebagaimana produksi kekerasan, mereka mengonsumsi dan sekaligus memproduksi kekerasan.

Dalam logika konsumen, seseorang harus bekerja keras untuk memiliki pendapatan yang cukup agar dapat membeli suatu produk. Mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan tanda keistimewaan, yang pretisius, dan memenangkan persaingan. Tetapi, dalam keadaan demikian beroperasi pula kekuatan modal dan kuasa pasar yang mempengaruhi dan sistem sosial, menggeser tata nilai sekelompok orang atau masyarakat, dan kemudian membentuk sistem sosial baru. Menariknya, sistem yang baru tersebut tidak memiliki kemampuan reflektif dan tidak terkendali, sebab kebenaran dan moralitas yang mereka anut hanya semacam sistem nilai yang dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi dan kepentingan sosial-politik,[9] yang tidak jauh berbeda dengan perilaku konsumen.

SEBUAH PRAKONDISI ATAU PRASYARAT TOLERANSI

Di pihak lain, untuk menghadang dan mengatasi gerakan kekerasan tersebut dilawan dengan wacana toleransi baik dalam kerangka demokrasi maupun dalam kearifan, kebhinnekaan dan nasionalisme. Wacana yang terakhir ini mendorong pendekatan dalam penafsiran lain mengenai keragaman, kemanusiaan (HAM), anti-kekerasan, dan sebagainya. Yang perlu dicatat adalah upaya menghalau kekerasan dengan pendekatan toleransi dan keragaman tersebut mengasumsikan bahwa masyarakat Indonesia diandaikan: 1) terdapat perbedaan, 2) yang mestinya dipandang sebagai keragaman. Keberagaman disini berarti cara pandang sekaligus konsep nilai yang mengutamakan sikap saling menghargai, menghormati, atau yang disebut tenggang rasa.

Keragaman memerlukan prakondisi yang mengakui bahwa terdapat perbedaan. Sedangkan dalam masyarakat konsumsi pada dasarnya menyembunyikan perbedaan. Di mata konsumsi antara orang kaya dan miskin tidak dilihat dan dipersoalkan. Orang yang pendapatan rendah dan tinggi dianggap sama. Pekerjaan, pendidikan, budaya, dan jenis kelamin dianggap sama. Buruh dan bos dinilai mempunyai keinginan yang sama dalam konsumsi. Pengangguran dan politikus sama-sama memiliki keinginan membeli kendaraan, televisi, alat komunikasi, dan seterusnya. Orang Islam dan kafir sekalipun sama. Siapapun orangnya adalah sama, sebagai konsumen.

Namun, kesamaan dalam konsumsi ini di sisi lain menyimpan dan menyembunyikan perbedaan, kebutuhan, kemampuan, termasuk budaya, negara, bahasa, bahkan ideologi. Kesamaan dalam konsumsi adalah membonceng keseragaman dan mengabaikan hubungan satu orang dengan yang lain, sebagaimana disebut sebelumnya. Sehingga, kesadaran terhadap keragaman sulit dipahami. Kesadaran ini dalam konsumsi adalah strategi keinginan dan ketidakpedulian. “Ini adalah pengingkaran kenyataan,” kata Baudrillard, seorang pemikir berkebangsaan Prancis.[10] Kesadaran relasi sosial diganti dengan relasi konsumsi. Maka, ketidakpedulian yang dimaksud berangkat dari relasi sosial logika konsumsi bahwa hubungan manusia dengan manusia lain diandaikan dengan sebuah produk—yang pertama adalah persaingan, seperti dijelaskan di atas—memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan produk.

Agama, tuhan, keyakinan dan semacamnya adalah produk kenyataan yang dipandang memenuhi kebutuhan seseorang. Maka, mengikuti pandangan kelompok keagamaan tertentu seperti halnya mengkonsumsi suatu produk tertentu. “Konsumen hidup […] membedakan diri, selalu menjadi benturan untuk mendirikan kelompok yang secara total berbeda, langsung, nyata dalam masyarakat… (mereka) menandai tingkatan-tingkatan dalam perbedaan golongan, melalui pembenaran golongannya sendiri,” kata Baudrillard.[11]

Mereka menganggap dirinya “lebih” daripada yang lain, yakni meninggikan pihaknya dan merendahkan yang lain. Seseorang yang dapat memiliki atau menggunakan produk yang bernilai prestis akan mengganggap dirinya berbeda dengan orang lain. Dalam logika konsumsi ini, produk (kekerasan) adalah bernilai prestis (kesalehan atau perjuangan), sedang keragaman tidak dijadikan sebagai pertimbangan. Masyarakat dalam pandangan tersebut dipandang seragam. Mereka melihat keberadaannya seperti dalam medan pertempuran, padahal mereka dalam persaingan pasar.

Tetapi, dalam medan yang disebut pasar sebuah produk dipandang menarik dan memberikan dorongan (terhadap kebutuhan, kepuasan, dan penyebaran nilai-nilai) yang sudah dipengaruhi citra atau promosi yang beredar di dalam pasar. Situasi sosial-politik memproduksi pemaknaan terhadap kekerasan yang mereka lakukan. Relasi dengan pihak tertentu (otoritas dan kemanan) membuat mereka berani melakukan identifikasi dan pembedaan diri dengan yang lain.

***

Dalam logika masyarakat konsumsi tindak kekerasan merupakan sebuah pekerjaan untuk mencapai tanda. Mereka memproduki dan mengonsumsi kekerasan. Konsumen membeli dan menggunakan tanda untuk mencapai “keistimewaan” tertentu dan itu menguntungkan bagi mereka. Hal ini disebabkan oleh cara pandang yang berlaku dalam masyarakat konsumsi bahwa 1) relasi antarmanusia diandaikan seperti persaingan, dan persaingan tersebut mereka ciptakan sendiri dan diseragamkan, sehingga mereka melihat bahwa 2) semua orang dianggap seragam, seragam dalam kaca mata mereka dan tidak mengakui perbedaan.

Hal ini adalah semacam prakondisi bagi toleransi dan kesadaran keragaman yang nirkekerasan tampaknya sulit dilakukan tanpa menggeser sistem masyarakat konsumsi dan menghalau industrialisasi lanjut—tidak berbeda jauh dengan seruan Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.[12] Jika tidak demikian, “Saya yakin bahwa di masa-masa yang akan datang, Polri masih akan menghadapi konflik-konflik agama…” kata Wakapolri, Badrodin Haiti.[13]

Catatan:


[1]     Kriminalitas 59 persen, KDRT 8 persen, persoalan hukum 7 persen, dan konflik 26 persen. Sedangkan dilihat dari jenis konflik; konflik separatisme, konflik identitas, konflik sumber daya, konflik pemilihan dan jabatan, konflik tata kelola pemerintah, konflik main hakim sendiri, selengkapnya lihat dalam http://www.snpk-indonesia.com/.

[2]     Seperti dilaporkan oleh Direktur CSIS, Phillips Vermonte, sekitar 60 persen mengatakan mereka tidak keberatan tinggal di sebelah orang dari agama lain, lebih dari 33 persen menyatakan ketidaknyamanan. Lebih dari 68 persen tidak ingin rumah ibadah selain agamanya dibangun di komunitas mereka. Penolakan hampir sama tinggi di antara mereka yang berpendidikan tinggi dan mereka yang berhenti sampai SMP; Lihat, “Survei: Toleransi Beragama Orang Indonesia Rendah,” http://www.tempo.co, 5 Juni 2012.

[3]     Menurut Wilson, mereka mendapat akses ke sumber daya dan manfaat ekonomi sering lebih penting daripada komitmen ideologis. Lihat, Ian Douglas Wilson, “As Long as it’s Halal: Islamic Preman in Jakarta,” dalam Greg Fealy & Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2008).  Fenomena kekerasan dan organisasi semacam ini merupakan warisan Orde Baru. Orde Baru memobilisasi preman dan pemuda untuk menyerang komunis—seperti yang diperlihatkan dalam film dokumenter The Act of Killing (2012)—dan kemudian mensponsori mereka masuk ke organisasi seperti Pemuda Pancasila; Lihat, David Brown & Ian Wilson, “Ethnicized Violence in Indonesia: Where Criminals and Fanatics Meet,” Nationalism and Ethnic Politics, Vol. 13, No. 3, (23 Agustus 2007), hlm. 373.

[4]     Seperti ketika pada kasus insiden Monas pada 2008 atau aksi penusukan anggota HKBP Ciketing pada 2010, anggota FPI dihukum jauh dari maksimum yang ada di KUHP. Lihat Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia (Jakarta: Pusad Paramadina, 2015), hlm. 10-11. Mengenai hal ini Nurcholish Madjid (Cak Nur) berpendapat bahwa perlu upaya memutus keterkaitan aktor negara dengan organisasi tersebut, serta memperkuat pluralisme. Dalam Laporan Wahid Institute 2014 menyebutkan bahwa pemerintah pusat tidak banyak mendayagunakan kekuasaanya untuk memajukan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Terdapat sikap yang mendua pemerintah. “SBY memilih mendelegasikan kekuasaannya kepada kepala daerah ketika terjadi perselisihan menyangkut IMB di HKBP Filadelfia dan GKI Taman Yasmin. Pada kasus lainnya, kepala daerah tidak ditegur karena mengabaikan perkara semacam ini.” Lihat, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Inttoleransi 2014: “Utang” Warisan Pemerintah Baru (Jakarta: The Wahid Institute, 2014), hlm. 19.

[5]     Lihat aksi anti-komunisme akan dianggap relevan dengan dipertahankannya Ketetapan MPRS RI No. XXV 1966; aksi anti-ahmadiyah relevan dengan fatwa sesat atau SKB dua menteri; anti-liberal atau anti-syiah dengan keputusan ulama, dan sebagainya.

[6]     Pada April 2012, Forum Ulama Ummat Indonesa (FUUI) mengadakan diskusi yang bertajuk “Merumuskan Langkah Strategis untuk Menyikapi Penyesatan dan Penghinaan Para Penganut Syiah.” Hasil diskusi tersebut menyimpulkan bahwa Syiah sesat dan bisa tidak dianggap Muslim sejati. Salah satu tamu diskusi tersebut antara lain Gubernur Jawa Barat dan Walikota Bandung. Perlu dicatat bahwa organisasi ini pada akhir 2002 silam mengeluarkan fatwa mati terhadap Ulil Abshar Abdalla, Jaringan Islam Liberal; Lihat, “Pemerintah akan mengawasi gerakan anti-Syiah,” dalam http://www.syiah.co/viewtopic.php?id=38.

[7]     Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi, hlm. 26.

[8]     Ian Douglas Wilson, “As Long as it’s Halal”, hlm. 193.

[9]     Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi, hlm. 23

[10]    Lihat Jean P. Baudrillard, Masyarakat Konsumsi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 18.

[11]    Ibid., hlm. 61.

[12]    Lihat, seruan Yenny Wahid dalam pawai damai peringatan Wahid Institute dan Gus Dur pada Hari Perdamaian Internasional, 21 September 2014, yang dilansir SCTV; Lihat http://news.liputan6.com/read/2106366/yenny-wahid-ahok-bawa-keadilan-di-tengah-masyarakat.

[13]    Dalam sebuah pengantar laporan riset mengenai “Pemolisian Konflik-konflik Keagamaan di Indonesia pasca-Orde Baru” yang dilangsungkan pada Januari 2012-September 2013. Lihat, Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia, Edisi Ringkas (Jakarta: Pusad Paramadina, 2014), hlm. v.

Leave a comment