MASIH ADA DISKRIMINASI DI SEKOLAH KITA

Setiap anak yang dilahirkan di tanah air ini berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Persoalannya, sekolah tidak menerima semua calon anak didik. Mereka mempunyai standar kualifikasi tertentu yang sebenarnya diskriminatif.

/1/

Hari itu ia datang sekitar pukul 9.30. Penjaga gerbang sekolah membiarkannya masuk. Beberapa guru yang melihatnya tidak mempersoalkan ia datang terlambat. Mereka maklum.

Tampak ia belum mandi atau cuci muka. Bukannya malas, tapi di rumahnya tidak ada kamar mandi. Jika pagi ia tidak mau mengantri berjam-jam ke kamar mandi umum. Rumahnya sekitar 4 kilometer dari sekolah ia tempuh dengan jalan kaki. Bajunya terlihat basah separuh. Dari aromanya jelas itu keringat.

Ketika ia masuk kelas 8 C, pelajaran sedang berlangsung. Saya tidak enak hati menutup lubang hidung. Setelah salam dan saya persilahkan, ia duduk di kursi deretan belakang. Saya meneruskan mengajar. Dalam hati saya mengucap syukur: ia masih mau datang ke sekolah.

Selesai pelajaran, ia beranjak menuju kamar mandi.

Kedua orang tuanya tidak mengijinkan ia sekolah. Ekonomi keluarganya absurd. “Ra sah sekolah! Kono, kerjo wae, entok duit,” begitu jawabnya ketika suatu kali saya tanya. “Bapakku mbecak. Ibuku buruh cuci pakaian. Aku jogo parkir karo dodolan koran.” Sekolah itu menghabiskan waktu. Tidak ada kesempatan buat belajar.

Orang tuanya tidak mampu membiayainya. Mereka tidak mau tahu. Ia dianggap sudah bisa cari makan sendiri. Tapi, jangankan sarapan, sering ia tidak makan seharian. Pernah suatu kali, di parkiran guru, ia kepergok membawa sebungkus nasi putih. Tanpa sayur atau lauk. waktu itu saya pulang lebih awal. Saya diam-diam mengamatinya. Ia makan dengan lahap. Esoknya saya panggil ia ke kantor. Saya belikan nasi padang.

Saya tak mau menyebutkan namanya. Suatu kali guru BK, guru kelas, dan kepala sekolah berkunjung ke rumahnya. Ia sudah seminggu lebih tidak masuk sekolah. Memanggil orang tua atau wali murid sia-sia. Awalnya pihak sekolah cukup kesulitan menemukan rumahnya. Sebab memang rumahnya tidak punya alamat.

Di rumahnya tidak ada meja kursi. Guru BK, guru kelas, dan kepala sekolah duduk berhimpitan di atas selembar tikar lusuh. Dan, mohon maaf, beraroma kurang sedap. Rumahnya berukuran tidak lebih dari ukuran 4×3 meter. Berlantai tanah. Apalagi jika air sungai meluap, jelas lantai rumahnya terendam.

Fenomena siswa dengan latar keluarga seperti saya ceritakan di atas itu tidak satu-dua siswa di sekolah swasta, tempat saya mengajar. Rata-rata siswa di sekolah berasal dari keluarga ekonomi ranking bawah, di luar jam sekolah mereka bekerja, orang tuanya broken home, pergaulan buruk, dan seterusnya.

Proses pendidikan dan pengajaran tidak bisa mengabaikan faktor keluarga dan lingkungan sosial di sekitarnya. Latar belakang keluarga juga menentukan pendidikan anak. Sebab itulah, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan pertamanya dari keluarga. Tapi, baiklah, saya tidak akan banyak membicarakan potret di luar lingkungan sekolah.

/2/

Setiap anak yang dilahirkan di tanah air ini berhak mendapatkan pendidikan. Persoalannya, tidak semua sekolah menerima semua anak didik, tanpa pilih-pilih. Pada umumnya sekolah negeri atau sekolah unggulan hanya menerima calon anak didik yang berbeda dengan kualifikasi sekolah swasta atau non-unggulan, misalnya. Apakah, misalnya, sekolah unggulan atau sekolah negeri favorit menerima calon anak didik yang berperilaku buruk, saya kira tidak perlu saya sebutkan di sini contohnya; apakah sekolah menerima calon anak didik yang bodoh, yang nakal, yang miskin? Untuk apa (siapa) sekolah didirikan! Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah seolah-olah “berhak” menetapkan kualifikasi tertentu, seperti kualifikasi vertikal dalam hal prestasi atau peringkat, perilaku sosial, atau bahkan ekonomi. Diskriminasi ini sudah menjadi hal yang maklum dan bagi kalangan tertentu terlanjur dimaklumi.

Perbedaan kualifikasi vertikal itu membuktikan bahwa terdapat pergeseran orientasi dalam pendidikan. Bahwa pendidikan lembaga tersebut lebih menekankan pada hasil daripada pendidikan sebagai proses. Pendidikan yang beorientasi pada hasil itu memunculkan anggapan persaingan atau kompetisi yang berdampak pada hubungan antarsekolah, antaranak didik, antara sekolah dengan anak didik.

Kompetisi adalah istilah yang digunakan dalam bahasa pertandingan atau perlombaan. Kompetisi juga digunakan dalam dunia bisnis. Tetapi, dunia pendidikan bukan dunia bisnis atau pertandingan. Ukuran pendidikan bukan pada kualifikasi kalah-menang atau sukses-gagal. Tidak ada kegagalan dan kekalahan dalam pendidikan.

Orientasi pendidikan pada sebagai hasil atau produk berarti pendidikan dipahami sebagai benda. Akibatnya (calon) anak didik dipahami sebagaimana barang mati yang tidak dapat berubah. Anak didik yang dianggap bodoh, tidak berprestasi, nakal, malas, dianggap selamanya akan seperti itu. Kebodohan dan kemalasan adalah takdir seseorang. Seseorang tidak memilih dilahirkan oleh orang tua atau keluarga tidak mampu. Kenakalan dianggap sebagai gawan orok. Anak didik seperti itu tidak masuk dalam kualifikasi. Dengan demikian, sebenarnya pihak sekolah telah mengabaikan tanggungjawabnya sebagai lembaga pendidikan, mengingkari bahwa manusia dapat belajar dan berubah menjadi lebih baik, bahkan mendahului ketentuan tuhan.

Selain itu, dampak kualifikasi diskriminatif itu akan melokalisir anak didik dalam satu lingkungan yang homogen dan akan menimbulkan gap atau kesenjangan kelas dan sekolah. Sekolah atau kelas A dianggap sekolah anak miskin. Kelas B dianggap anak nakal atau bodoh. Kelas C, tempatnya siswa yang paling tidak bisa atur, dan seterusnya.

Padahal dengan berbagai perbedaan itu, siswa dapat belajar dan mengenali lingkungan sosialnya dengan bimbingan dan arahan dari pihak sekolah. Hal ini tentu pendidikan tidak cukup hanya oleh pihak sekolah atau guru, maka baik pihak sekolah maupun orang tua atau wali harus saling bekerjasama demi pendidikan anak didik.

/3/

Proses pendidikan diibaratkan sebuah pohon, pertumbuhan dan perkembangannya tergantung pada perhatian dan pemeliharaannya. Jika tidak dirawat, dipupuk, dan disirami, pohon tidak akan besar dan berbuah. Pohon yang besar dan berbuah akan bermanfaat. Meski diketahui bahwa kehidupan pohon tidak sama dengan anak didik.

Latar belakang anak didik sangat mempengaruhi pendidikan di sekolah. Sekolah melanjutkan pertumbuhan pendidikan yang sebelumnya telah ditanamkan oleh orang tua di dalam keluarga. Pendidikan sekolah memiliki keterbatasan yang bersifat formal dalam waktu dan ruang lingkup.

Persoalan yang terjadi adalah tidak sedikit anak didik berasal dari keluarga yang broken home, miskin, sibuk bekerja, atau orang tua yang tidak peduli dengan anak, sehingga dalam beberapa kasus, anak didik tidak atau kurang mendapatkan perhatian atau kasih sayang keluarga. Perhatian itu bisa seperti membuatkan sarapan sebelum sekolah, menanyakan pelajaran atau teman-temannya, membantu atau menemani mengerjakan tugas, dan sebagainya.

Ironis jika ada orang tua yang tidak mau tahu: apakah anaknya bersekolah atau tidak. Sedang, si anak punya semangat belajar yang tinggi, punya kemampuan yang potensial, dan menyadari pentingnya pendidikan untuk masa depan yang lebih baik. Maka dari itu, dalam rangka mendukung perkembangan dan pendidikan anak di sekolah diperlukan keterlibatan orang tua atau wali dalam program sekolah. Jika tidak, anak didik cenderung mencari perhatian di lingkungan sekolah, seperti berbuat keributan di kelas, bersikap manja, atau membolos.

Adalah guru yang berperan dalam proses perkembangan anak didik di sekolah. Seorang guru punya kewajiban yang sangat mulia. Guru seperti orang tua adalah  manusia terpilih, untuk mendidik dan mengajarkan ilmu kepada anak-anaknya. Setiap anak didik memiliki kelebihan dan keistimewaan. Meski anak didik punya masalah dalam latar belakang atau keadaan yang tidak mendukung, pihak sekolah dan keluarga berperan untuk menggali dan menemukan keistimewaan itu.

/4/

Anak didik dari sekolah swasta yang non-unggulan biasanya mengalami hal tersebut. Mereka dianggap nakal, bodoh, atau bahkan pembuat onar (trouble maker). Mereka sering berhadapan dengan sanksi dan hukuman. Kekerasan dan kekangan, dalam hal ini tidak dianjurkan. Adapun cara penanganan terhadap anak didik yang demikian diperlukan pendekatan yang lebih berorientasi sosial agar membuat mereka menginsafi dirinya dan keadaannya.

Salah satu yang dapat dilakukan di sekolah oleh guru misalnya melalui pembinaan akhlak, yakni bagaimana sebaiknya bersikap kepada orang lain. Perilaku menghargai sesama, memiliki kepedulian dan tolong-menolong. Jujur. Tidak berbuat curang dan sebagainya.

Pembinaan tersebut perlu dilakukan dengan keteladanan dan kesabaran. Sebagai pendidik, guru harus benar-benar memperhatikan perkembangan anak didiknya. Hal ini diantaranya dapat dilakukan secara empati dan intens berkomunikasi dengan anak didik. Kedekatan dan kenyamanan berada di lingkungan pendidikan dan ketika bersama guru, sangat diharap oleh anak didik terutama bagi mereka yang memiliki masalah dengan latar belakang keluarga. Maka dari itu, peran guru wali atau wali kelas sangat diperlukan dalam hal ini.

Pendidikan tidak hanya dapat dilakukan di dalam kelas atau di lingkungan sekolah. Untuk lebih intensif menjalankan program pendidikan, pihak sekolah perlu menjalin komunikasi dan bekerjasama dengan pihak orang tua atau wali. Seperti agenda pertemuan atau sarasehan bersama orang tua atau wali. Tujuannya, selain untuk menginformasikan dan menjembatani antara pihak sekolah dan orang tua wali, juga membahas persoalan-persoalan dalam proses pendidikan.

Perlu juga dilakukan agenda visitasi atau kunjungan ke rumah orang tua atau wali agar rencana dan program pendidikan dapat berjalan intensif. Selain itu, program bersama orang tua atau wali juga dapat dilakukan melalui pengajian bersama. Hal ini sangat diperlukan, selain membina rohani keagamaan anak didik juga sebagai upaya pendekatan orang tua atau wali, anak didik, dan pihak sekolah.

Agenda-agenda tersebut bisa dilakukan secara rutin atau periodik, atau ketika terjadi masalah dalam proses pendidikan. Tapi, beberapa terkendala kemungkinan bisa saja terjadi. Misalnya, jika orang tua atau wali tidak hadir atau tidak dapat ditemui di rumah, baik karena tidak peduli dengan anak didik, lebih mementingkan pekerjaan, atau mungkin tidak dapat meninggalkan pekerjaan.

Seperti yang dikemukakan di atas, setiap anak didik memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Beruntung jika mereka punya orang tua atau wali yang peduli dengan proses pendidikan sekolah. Pihak sekolah perlu mempertimbang hal ini, dan lebih memberikan perhatian kepada anak didik yang tidak beruntung tersebut.

Jika pihak sekolah sudah berupaya menjalankan program dan agenda tersebut, maka pihak sekolah yang memiliki keterbatasan formal seringkali tidak dapat berbuat banyak lagi. Dengan demikian, dalam hal ini pemerhati, komunitas, pegiat, atau dinas pendidikan setempat dapat membantu dan mendukung program pendidikan sekolah terkait agenda orang tua atau wali anak didik. Terlebih khususnya kepada orang tua yang broken home, atau yang tidak peduli lagi dengan anak didiknya. Bagi orang tua atau wali yang pekerja aktif atau ekonomi rendah, diperlukan bantuan yang tidak banyak administrasi dan justru mempersulit.

Sekali lagi, jika anak didik berbuat salah maka yang bertanggungjawab adalah orang tua wali dan sekolah. Kerjasama antara sekolah dan orang tua wali adalah keniscayaan.

/5/

Yang perlu disampaikan adalah persoalan yang saya sebutkan di atas terjadi di Yogyakarta, di pusat kota yang tidak jauh dari kantor pemerintah kota, dari perguruan tinggi ternama, di kota yang banyak sarjana, doktor, profesor, dan orang-orang pintar lainnya. Saya kira tidak perlu menutup mata dengan potret pendidikan di kota ini yang diskriminatif. Sebuah kota yang terlanjur dianugrahi sebagai kota pendidikan.[]

by Angga Kesuma Wijaya

Leave a comment